Memaksimalkan Penggunaan Habitat dengan Menghindari Manusia di Siang Hari dan Predator di Malam Hari

By Achmad Fawzy - May 08, 2019


Pendahuluan

Meningkatnya populasi manusia dan ekspansi pemukiman di sekitar kawasan lindung menyebabkan interaksi antara manusia dan satwa liar menjadi semakin sering dan meluas (Wittemyer et al. 2008). Satwa liar menganggap kehadiran dan aktivitas manusia seperti rekreasi, penggembalaan hewan ternak dan perburuan, serta infrastruktur seperti jalan dan pemukiman sebagai ancaman, sehingga satwa liar menyesuaikan dan mengubah pola perilaku mereka terhadap gangguan aktivitas manusia (Frid & Dill 2002). Eksperimen Walther (1969) menunjukkan bahwa satwa liar menganggap aktivitas manusia mirip dengan risiko pemangsaan. Persepsi dan respon satwa liar terhadap gangguan aktivitas manusia bervariasi secara spasial dan temporal, menciptakan “lansekap ketakutan” antropogenik bagi satwa liar (Laundre et al. 2010). Lanskap ketakutan menjelaskan bagaimana pola satwa liar dalam memanfaatkan habitat dengan menyeimbangkan akses ke sumberdaya dengan risiko predasi atau gangguan manusia (Brown et al. 2001, Laundre et al. 2010).

Dalam kondisi sering bertemu dengan manusia, satwa liar cenderung akan menghindari manusia secara temporal dibandingkan secara spasial (Kronfeld-Schor & Dayan 2003). Penghindaran secara temporal dilakukan karena semakin sedikit wilayah yang tersedia bagi satwa liar untuk mencari perlindungan spasial dari manusia (Gaynor et al. 2018). Satwa liar mendapatkan perlindungan secara temporal (misalnya) dengan mengubah kegiatan siang hari ke senja atau malam hari (meningkatkan nokturnalitas) untuk menghindari kontak dengan manusia (Benítez-López 2018), karena manusia merupakan makhluk diurnal (Clinchy et al. 2016). Studi mengenai efek kumulatif gangguan manusia terhadap dinamika temporal satwa liar belum banyak dipelajari (Gaynor et al. 2018) dan minim perhatian (Naylor et al. 2009).

Selain gangguan manusia, faktor lain yang menentukan perilaku adaptasi satwa adalah predasi. Predasi memiliki pengaruh yang kuat terhadap populasi mangsa secara langsung atau tidak langsung yang dimediasi oleh perilaku (Lima & Dill 1990). Spesies mangsa memodifikasi perilaku mereka dalam sejumlah aspek yang berbeda tergantung pada karakteristik predator dan kondisi lingkungan (Liley & Creel 2008), termasuk perubahan dalam pola pergerakan (Sih & McCarthy 2002) dan penghindaran habitat dengan kepadatan predator tinggi (Blumstein & Daniel 2002; Heithaus & Dill 2002; Creel et al. 2005; Heithaus et al. 2009; Kluever et al. 2009). Perubahan perilaku spasial dan temporal pada satwa liar menunjukkan bahwa satwa liar memiliki sifat plastisitas perilaku tingkat tinggi, dengan implikasi besar bagi ekologi dan konservasi (Gaynor et al. 2018). Plastisitas perilaku merupakan bentuk adaptasi pada hewan dengan mengubah perilaku mereka untuk menghadapi perubahan kondisi lingkungan (Snell-Rood 2013). Respons terhadap gangguan manusia dapat mempengaruhi dinamika perilaku dalam pemanfaatan sumber daya, daerah jelajah dan penggunaan habitat (White & Berger 2001, Creel & Christianson 2008). Gangguan aktivitas manusia pada akhirnya dapat memengaruhi kelangsungan hidup, keberhasilan reproduksi, distribusi individu, dan dinamika populasi satwa liar (Tuomainen & Candolin 2011).

Beberapa spesies mangsa mungkin justru mencari daerah yang didominasi manusia di malam hari untuk melarikan diri dari pemangsa nokturnal yang secara spasial menghindari manusia (lebih sensitif terhadap keberadaan manusia) (Gaynor et al. 2018). Berger (2007) memperkenalkan "human shield hypothesis" yaitu hipotesis yang menjelaskan suatu bentuk adaptasi dimana spesies mangsa menggunakan keberadaan manusia sebagai perisai atau pelindung dari ancaman predator. Premis utama dari hipotesis perisai manusia adalah predator cenderung sangat menghindari manusia. Semakin dekat dengan manusia, maka akan menciptakan zona dengan risiko pemangsaan alami yang semakin berkurang (Muhly et al. 2011). Premis ini sering terpenuhi karena sebagian besar predator besar memiliki sejarah panjang akibat aktivitas manusia yang bersifat mematikan (seperti penganiayaan atau perburuan) sehingga predator sangat menghindari manusia (Zimmermann et al. 2001; Schwartz et al. 2003; Bagchi & Mishra 2006; Lagendijk & Gusset 2008; Rigg et al. 2011). Penggunaan manusia sebagai perisai dari predator alami telah dilaporkan dalam berbagai spesies ungulata. Penelitian yang mendukung hipotesis perisai manusia ditemukan dalam hubungan mangsa-predator salah satunya hubungan nyala gunung (Tragelaphus buxtoni) dan hyena tutul (Crocuta crocuta) di Bale Mountains National Park, Ethiopia (Atickem et al. 2014). Penelitian Atickem et al. (2014) menunjukkan untuk pertama kalinya heterogenitas individu yang sangat besar dalam menggunakan perisai manusia (0–70%) pada nyala gunung. Tujuh betina dan delapan jantan nyala gunung ditandai dengan mengenakan GPS Collar dari Juni 2008 hingga Mei 2010 dan semua individu berasal dari kelompok yang berbeda.

Diskusi

Nyala gunung bergerak menuju pemukiman manusia sepanjang tahun dan tidak hanya selama musim pertumbuhan jelai dari Juni–Agustus (tidak dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tanaman pertanian) (garis tebal vertikal abu-abu pada Gambar 1). Sehingga fenomena ini ditafsirkan mendukung hipotesis perisai manusia. Karena kepadatan ternak yang tinggi, semua vegetasi di luar taman nasional terdegradasi jika dibandingkan dengan vegetasi di dalam Gaysay (salah satu lansekap di dalam Bale Mountains National Park). Dilaporkan juga bahwa penggembalaan ternak ilegal juga ada di dalam taman nasional sepanjang tahun (Atickem & Loe 2013). Situasi tersebut menunjukkan bahwa kualitas tanaman hijauan yang lebih tinggi di dalam daripada di luar kawasan taman nasional. Adanya tumpang tindih pola makan yang tinggi antara nyala gunung dengan hewan ternak di dalam kawasan taman nasional bukanlah alasan utama nyala gunung bergerak dari wilayah Gaysay yang lebih subur ke wilayah pemukiman (misal untuk memakan sisa-sisa tanaman jelai), meskipun lahan pertanian jelai dilaporkan telah menarik perhatian satwa herbivora (Godvik et al. 2009).

Gambar 1: Probabilitas untuk mendekati wilayah manusia pada nyala gunung pada musim yang berbeda. Probabilitas berada di wilayah manusia didefinisikan sebagai keberadaan nyala gunung di lokasi dengan jarak 50 m dari pemukiman setidaknya sekali dalam semalam. Garis horizontal adalah rata-rata atau nilai prediksi kemungkinan perpindahan ke wilayah manusia di setiap musim (garis hitam untuk nyala betina, abu-abu untuk nyala jantan). Garis putus-putus mewakili ± 1 SE dari rata-rata prediksi. Garis tebal vertikal pada sumbu x menunjukkan proporsi bulanan nyala gunung berada di lahan pertanian jelai (hitam untuk nyala betina, abu-abu untuk nyala jantan). Perlu diperhatikan bahwa pada musim kemarau, garis horizontal pada nyala jantan dan betina tumpang tindih (sehingga hanya terlihat satu garis horizontal).

Proporsi waktu yang dihabiskan di lahan pertanian meningkat pada nyala jantan ketika periode musim jelai. Ini mengindikasikan bahwa tanaman jelai mungkin menjadi hal yang menarik nyala jantan selama musim tersebut untuk keluar dari taman nasional. Penggunaan lahan pertanian oleh nyala gunung di luar musim jelai mungkin merupakan hasil sampingan dari hipotesis perisai manusia karena ladang berdekatan dengan pemukiman. Berpindahnya nyala ke wilayah manusia di malam hari biasanya disertai dengan penurunan tingkat aktivitas karena mereka cenderung hanya beristirahat. Di sisi lain juga ada peningkatan tingkat perilaku waspada (yaitu pergerakan kepala yang lebih sering) ketika berada sangat dekat dengan manusia. Probabilitas ditemukan feses dari hyena tutul (predator utama nyala gunung) semakin meningkat bila jarak dari pemukiman semakin jauh (Gambar 2). Ini menunjukkan bahwa resiko predasi lebih rendah bila dekat dengan pemukiman.

Gambar 2: Kemunculan hyena dengan jarak dari pemukiman yang diperkirakan dari pengambilan sampel feses di sepanjang garis transek. Masing-masing titik merepresentasikan proporsi titik transek dengan feses hyena dalam jarak 50 m.

Secara umum, tiap individu memiliki karakter yang berbeda dalam merespon terhadap resiko predasi. Beberapa individu cenderung menjadi pengambil risiko, sementara individu lain menghindari risiko (Wilson et al. 1994). Misalnya betina yang kehilangan anaknya karena predasi, akan menunjukkan peningkatan kewaspadaan di masa-masa setelahnya (Berger et al. 2001). Mekanisme ini dapat menjelaskan heterogenitas individu dalam menggunakan perisai manusia pada nyala gunung. Semua 7 nyala gunung betina yang memakai GPS Collar pernah melahirkan (selama melakukan penelitian)  tetapi hanya satu yang bisa bertahan hidup setelah 2 bulan kemudian. Ini mengindikasikan bahwa tingkat predasi cukup tinggi di wilayah tersebut. Frekuensi nyala jantan mendekati wilayah manusia sama dengan nyala betina. Nyala betina tetap mendekati wilayah manusia bahkan setelah kehilangan anaknya. Fenomena ini menunjukkan bahwa risiko predasi pada nyala dewasa mungkin juga tinggi.

Gambar 3: Variasi lokasi harian nyala gunung terkait jarak dari pemukiman pada (a) nyala gunung jantan dan (b) nyala gunung betina. Garis putus-putus mewakili interval kepercayaan 95%.

Jarak rata-rata harian nyala gunung ke pemukiman berbeda antara pada nyala jantan dan betina. Namun, kedua jenis kelamin menunjukkan pola yang sama yaitu nyala gunung berada pada jarak yang lebih dekat dengan wilayah manusia pada malam hari dan berada pada jarak yang lebih jauh dengan wilayah manusia pada siang hari (Gambar 3). Probabilitas perilaku aktif pada malam hari juga bervariasi terkait jarak ke pemukiman (Gambar 4). Probabilitas perilaku aktif menjadi 1,3 kali lebih tinggi ketika berada dalam jarak 50 m dari pemukiman dibandingkan ketika berada di lokasi yang jauh dari wilayah manusia. Ini menunjukkan bahwa semakin dekat dengan manusia, nyala gunung semakin meningkatkan perilaku aktif (khususnya perilaku waspada). Sebenarnya, aktivitas manusia tidaklah bersifat ofensif secara langsung terhadap nyala gunung, mengingat aktivitas perburuan sangat dilarang di wilayah tersebut dan sangat kecil sekali untuk melakukan perburuan karena ada patroli teratur yang dilakukan oleh game rangers.

Gambar 4: Probabilitas perilaku aktif saat malam hari pada nyala gunung betina terkait jarak dari pemukiman manusia. Setiap titik merepresentasikan proporsi perilaku aktif untuk setiap individu. Ukuran simbol sebanding dengan ukuran sampel, dan jenis simbol spesifik untuk setiap individu.

Kesimpulan

Perilaku nyala gunung yang menggunakan strategi perisai manusia bersifat fakultatif. Nyala gunung berpindah ke wilayah manusia hanya pada malam tertentu dengan frekuensi kunjungan bervariasi dari 0% hingga 70%, dengan median 14% ketika malam hari. Ketika siang hari nyala gunung tidak pernah mengunjungi wilayah manusia. Perilaku spesies mangsa yang responsif seperti kasus nyala gunung dapat memaksimalkan fitness dengan menyeimbangkan antara kebutuhan akses sumber daya dan meminimalkan risiko pemangsaan. Pada siang hari, nyala gunung dapat mencari makan di dalam taman nasional dengan kualitas tanaman hijauan yang lebih tinggi, dan minim atau tanpa adanya resiko predasi dari hyena (nokturnal) dan juga minim gangguan dari manusia. Pada malam hari, mereka berpindah ke wilayah manusia dimana manusia sudah istirahat dan resiko predasi dari hyena tertinggi di dalam taman nasional. Di wilayah manusia, nyala gunung cenderung hanya beristirahat walaupun perilaku waspada juga semakin meningkat.

Jadi, tidak mungkin pola perilaku pada nyala gunung akan muncul dan bertahan jika tidak ada manfaat atau benefit yang akan didapatkan. Jika risiko predasi tinggi hanya pada malam tertentu dan dapat diprediksi (misal dapat terdeteksi melalui kontak visual atau suara dari hyena), perpindahan ke wilayah manusia yang pada malam hari dapat memberikan peningkatan besar dalam strategi bertahan hidup. Dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa penggunaan perisai manusia secara fakultatif merupakan respon adaptif yang dinamis terhadap variasi temporal dalam kemunculan predator yang tidak dapat diprediksi oleh nyala gunung.

Menurut pendapat saya pribadi, dengan mengubah pola perilaku pada beberapa spesies satwa liar, dinamika gangguan baik yang berasal dari manusia ataupun predator akan berpotensi menimbulkan trophic cascade yang dimediasi oleh perilaku. Trophic cascade terjadi ketika populasi salah satu tingkat trofik menurun atau bertambah  dan berpotensi mengubah seluruh komunitas ekologis. Bisa saja heyna harus mengubah diet mereka untuk memangsa ungulata khas Afrika lainnya seperti kudu, eland, oribi, antelope, atau bushbuck. Karena ketika nyala gunung pada malam hari semuanya sudah berpindah ke wilayah manusia, otomatis membuat heyna harus mengubah mangsa yang lebih mudah dijangkau. Mengingat semua herbivora memiliki pola perilaku makan yang berbeda (ada juga yang sama) akan membuat salah satu komponen tumbuhan yang dimakan menjadi mendominasi dan komponen lain menjadi menurun. Ini berpotensi akan mengganggu atau merubah seluruh ekosistem. Ini masih dugaan saja, untuk itu semoga kedepannya dilakukan penelitian lebih lanjut. Karena trophic cascade dan antrophogenic disturbance merupakan topik yang membuat saya sangat tertarik dengan biologi ekologi khususnya ekologi satwa liar.


Referensi


  • Atickem, A. & Loe, L.E. 2013. Livestock-wildlife conflicts in the Ethiopian highlands, assessing the dietary and spatial overlap between mountain nyala and cattle. African Journal of Ecology  52(3): 343—351
  • Atickem, A., Loe, L.E. & Stenseth, N.C. 2014. Individual heterogeneity in use of human shields by mountain nyala. Ethology 120(7): 715—725.
  • Bagchi, S. & Mishra, C. 2006. Living with large carnivores, predation on livestock by the snow leopard (Uncia uncia). Journal of Zoology 268(3): 217224.
  • Benítez-López, A. 2018. Animals feel safer from humans in the dark. Science 360(6394): 1185—1186.
  • Berger, J. 2007. Fear human shields and the redistribution of prey and predators in protected areas. Biological Letter 3(6): 620623.
  • Berger, J., Swenson, J.E. & Persson, I.L. 2001. Recolonizing carnivores and naive prey, conservation lessons from Pleistocene extinctions. Science 291(5506): 1036—1039. 
  • Blumstein, D.T. & Daniel, J.C. 2002. Isolation from mammalian predators differentially affects two congeners. Behavioral Ecology 13(5): 657663.
  • Brown, J.S., B. Kotler & A. Bouskila. 2001. Ecology of fear: foraging games between predators and prey with pulsed resources. Annales Zoologici Fennici 38(1): 71–87.
  • Clinchy, M., L.Y. Zanette, D. Roberts, J.P. Suraci, C.D. Buesching, C. Newman & D.W. Macdonald. 2016. Fear of the human “super predator” far exceeds the fear of large carnivores in a model mesocarnivore. Behavioral Ecology 27: 1826—1832.
  • Creel, S. & D. Christianson. 2008. Relationships between direct predation and risk effects. Trends in Ecology and Evolution 23(4): 194—201.
  • Creel, S., Winnie, J., Maxwell, B., Hamlin, K.L. & Creel, M. 2005. Elk alter habitat selection as an antipredator response to wolves. Ecology 86(12): 33873397.
  • Frid, A. & L. Dill. 2002. Human-caused disturbance stimuli as a form of predation risk. Ecology and Society 6(1): 1—16.
  • Gaynor, K.M., C.E. Hojnowski, N.H. Carter & J.S. Brashares. 2018. The influence of human disturbance on wildlife nocturnality. Science 360: 1232—1235.
  • Godvik, I.M., Loe, L.E., Vik, J.O., Veiberg, V., Langvatn, R. & Mysterud, A. 2009. Temporal scales trade-offs and functional responses in red deer habitat selection. Ecology 90(3): 699710.
  • Heithaus, M.R. & Dill, L.M. 2002. Food availability and tiger shark predation risk influence bottlenose dolphin habitat use. Ecology 83(2): 480491.
  • Heithaus, M.R., Wirsing, A.J., Burkholder, D., Thomson, J. & Dill, L.M. 2009. Towards a predictive framework for predator risk effects, the interaction of landscape features and prey escape tactics. Journal of Animal Ecology 78: 556562.
  • Kluever, B.M., Howery, L.D., Breck, S.W. & Bergman, D.L. 2009. Predator and heterospecific stimuli alter behavior in cattle. Behavioural Processes 81(1):  85—91.
  • Kronfeld-Schor, N. & T. Dayan. 2003. Partitioning of time as an ecological resource. Annual Review of Ecology, Evolution, and Systematics 34: 153—81.
  • Lagendijk, D.D.G. & Gusset, M. 2008. Human-carnivore coexistence on communal land bordering the Greater Kruger Area, South Africa. Environmental Management 42(6):  971—976.
  • Laundre, J.W., L. Hernandez & W.J. Ripple. 2010. The landscape of fear: ecological implications of being afraid. The Open Ecology Journal 3: 1—7.
  • Liley, S. & Creel, S. 2008. What best explains vigilance in elk, characteristics of prey predators or the environment?. Behavioral Ecology 19(2): 245254.
  • Lima, S.L. & Dill, L.M. 1990. Behavioral decisions made under the risk of predation: a review and prospectus. Canadian Journal of Zoology 68: 619—640.
  • Muhly, T.B., Semeniuk, C., Massolo, A., Hickman, L. & Musiani, M. 2011. Human activity helps prey win the predator-prey space race. PLoS ONE 6: e17050.
  • Naylor, L.M., M.J. Wisdom & R.G. Anthony. 2009. Behavioral responses of North American Elk to recreational activity. The Journal of Wildlife Management 73(3): 328—338.
  • Rigg, R., Find’o, S., Wechselberger, M., Gorman, M.L., Sillero-Zubiri, C. & Macdonald, D.W. 2011. Mitigating carnivorelivestock conflict in Europe, lessons from Slovakia. Oryx 45(2): 272280. 
  • Schwartz, C.C., Swenson, J.E. & Miller, S.D. 2003. Large carnivores, moose, and humans, a changing paradigm of predator management in the 21st century. Alces 39: 4163. 
  • Sih, A. & McCarthy, T.M. 2002. Prey responses to pulses of risk and safety, testing the risk allocation hypothesis. Animal Behavior 63(3): 437443.
  • Snell-Rood, E.C. 2013. An overview of the evolutionary causes and consequences of behavioural plasticity. Animal Behaviour 85(5): 1004—1011.
  • Tuomainen, U. & U. Candolin. 2011. Behavioural responses to human-induced environmental change. Biological Reviews 86: 640–657.
  • Walther, F.R. 1969. Flight behaviour and avoidance of predators in Thomson's gazelle (Gazella thomsoni: Guenther 1884). Behaviour 34:184—221.
  • Wilson, D.S., Clark, A.B., Coleman, K. & Dearstyne, T. 1994. Shyness and boldness in humans and other animals. Trends in Ecology and Evolution 9(11): 442446.
  • White, K.S. & J. Berger. 2001. Antipredator strategies of Alaskan moose: are maternal trade-offs influenced by offspring activity?. Canadian Journal of Zoology 79(11): 2055—2062.
  • Wittemyer, G., P. Elsen, W.T. Bean, A.C.O. Burton & J.S. Brashares. 2008. Growth at protected area edges. Science 321: 123—126.
  • Zimmermann, B., Wabakken, P. & Dotterer, M. 2001. Human-carnivore interactions in Norway, how does the re-appearance of large carnivores affect people’s attitudes and levels of fear?. Forest Snow and Landscape Research  76: 137—153.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments