Satwa Liar Meningkatkan Aktivitas di Malam Hari untuk Menghindari Gangguan Aktivitas Manusia

By Achmad Fawzy - January 09, 2020


1. Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, keberadaan biodiversitas terus terancam (Supriatna 2018) karena peningkatan dan perkembangan populasi manusia (Setiawan & Alikodra 2001). Semakin bertambahnya populasi manusia, artinya semakin tinggi tingkat kebutuhan manusia yang pada akhirnya dapat menyebabkan ancaman dan kepunahan berbagai spesies dan ekosistem (Supriatna 2018). Urbanisasi, deforestasi dan fragmentasi habitat adalah contoh efek antropogenik yang harus diadaptasikan oleh hewan pada skala waktu yang sangat pendek. Respon awal hewan terhadap gangguan yang disebabkan manusia berupa perubahan perilaku, pemilihan habitat yang berbeda atau kewaspadaan. Gangguan karena aktivitas manusia tentu akan mempengaruhi kelangsungan hidup, keberhasilan reproduksi, distribusi individu, dan dinamika populasi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi keanekaragaman hayati (Tuomainen & Candolin 2011).

Ekspansi aktivitas manusia yang begitu cepat telah menimbulkan pergeseran distribusi spasial satwa liar, dikarenakan semakin sedikit wilayah (spasial) yang tersedia bagi hewan untuk mencari tempat perlindungan (Gaynor et al. 2018). Saat ini diperkirakan sekitar 75% daratan di bumi sedang mendapat tekanan karena aktivitas manusia (Venter et al. 2016) yang menyebabkan satwa liar semakin terdesak, dan konflik manusia-satwa liar tak dapat dihindarkan. Satwa liar sering menjadi subjek kontrol jika dianggap merugikan manusia (Woodroffe et al. 2005).

Dalam kondisi dimana satwa liar hidup dekat dengan manusia atau sering bertemu dengan aktivitas manusia, satwa liar akan cenderung mencari perlindungan secara temporal dibandingkan dengan mencari perlindungan secara spasial (Kronfeld-Schor & Dayan 2003). Studi mengenai efek kumulatif gangguan manusia terhadap dinamika temporal satwa liar masih belum diukur (Gaynor et al. 2018) dan belum banyak mendapat perhatian (Naylor et al. 2009). Beberapa hewan tidak menunjukkan perubahan perilaku yang terlihat atau signifikan dalam menunjukkan respon terhadap gangguan manusia, memberi kesan bahwa aktivitas manusia tidak memiliki pengaruh terhadap kehidupan liar (Benítez-López 2018). Satwa liar mendapatkan perlindungan secara temporal misalnya dengan merubah kegiatan siang hari ke senja atau malam hari untuk menghindari kontak dengan manusia (Benítez-López 2018), yang dimana manusia sendiri merupakan makhluk diurnal dan apex “super predator” (Clinchy et al. 2016).

Hingga saat ini, banyak orang belum mengetahui efek aktivitas manusia terhadap perilaku temporal dari satwa liar. Pendekatan holistik yang memperhitungkan respon perilaku, fisiologis, populasi, dan evolusi terhadap gangguan manusia di seluruh taxa sangat diperlukan untuk memahami sepenuhnya mengenai konsekuensi dari ekspansi manusia terhadap persistensi populasi satwa liar di dunia yang semakin ramai ini. Pengetahuan ini sangat penting agar nantinya memberikan cara-cara baru dalam perencanaan konservasi yang juga membahas interaksi temporal manusia dengan satwa liar, mirip dengan cara-cara dimana ekologi spasial saat ini diberlakukan dalam perencanaan lahan atau prioritas konservasi spasial (Benítez-López 2018).

2. Pembahasan

2.1 Perilaku nokturnalitas satwa liar belakangan ini

Dalam 500 tahun terakhir, manusia telah memicu gelombang kepunahan, ancaman, dan penurunan populasi lokal yang mungkin sebanding dalam tingkat dan besarnya dengan lima kepunahan massal sebelumnya dalam sejarah Bumi (Barnosky et al. 2011). Saat ini diperkirakan sekitar 75% daratan di bumi sedang mendapat tekanan karena aktivitas manusia (Venter et al. 2016). Manusia membangun kota dan infrastruktur untuk menunjang aktivitas manusia. Dalam proses tersebut, manusia menggunakan dan kadang merusak habitat yang sudah ada sebelumnya (Gaynor 2018). Hewan memiliki waktu aktivitas yang berbeda dalam siklus 24 jam. Pola aktivitas mereka telah berkembang untuk menyesuaikan dengan struktur waktu dalam habitatnya. Pola-pola aktivitas yang berbeda ini dapat mempengaruhi ekologis dan signifikansi evolusioner, serta konsekuensi fisiologis. Kekuatan dan kendala selektif yang mempengaruhi evolusi pola aktivitas mendasari pembagian waktu sebagai sumber daya (Kronfeld-Schor & Dayan 2003).

Gaynor et al. (2018) dalam studi meta-analysis nya, mengukur perubahan perilaku temporal satwa liar dalam merespon terhadap berbagai gangguan karena aktivitas manusia. Dataset mereka menyertakan 141 kasus untuk 62 spesies mamalia, merepresentasikan 21 famili dan 9 ordo, dan mencakup semua benua kecuali antartika. Dalam semua 76 studi, mereka membandingkan persentase perilaku nokturnal (aktivitas pada malam hari) di dua kondisi berbeda, yaitu kondisi dengan gangguan manusia yang tinggi dan gangguan manusia yang rendah. Contoh aktivitas manusia rendah vs. tinggi seperti: daerah tanpa vs. dengan rekreasi atau berburu; di dalam vs di luar kawasan lindung; jauh vs dekat dari pemukiman atau jalan; musim tidak berburu vs. musim berburu; sebelum vs. setelah pembangunan infrastruktur.

Dalam analisis mereka, didapat bahwa ada peningkatan yang nyata dalam perubahan perilaku nokturnal satwa liar. Secara keseluruhan, nokturnalitas mamalia yang hidup di wilayah dengan gangguan manusia yang tinggi meningkat 1,36 kali (confidence interval 95%, 1.23 hingga 1.51) dibandingkan dengan wilayah dengan gangguan manusia yang rendah. Sebagai gambaran, hewan yang biasanya membagi aktivitasnya secara merata antara siang dan malam (50% vs. 50%), akan meningkatkan proporsi aktivitas malam hari menjadi 68% dari total aktivitas mereka jika hidup atau berada dekat dengan manusia. Dari 141 ukuran efek, 83% menunjukkan peningkatan nokturnalitas dalam menanggapi gangguan manusia (Gambar 1).

Analisis mereka mencakup berbagai gangguan manusia yang terkait dengan beragam rangsangan yang mewakili berbagai tingkat risiko bagi kehidupan liar, termasuk kegiatan mematikan (misalnya, perburuan), kegiatan tidak mematikan (misalnya, mendaki gunung dan ekstraksi sumber daya alam), dan infrastruktur manusia (misalnya, pembangunan pemukiman, pembangunan jalan, dan pertanian). Yang mengejutkan, aktivitas manusia yang tidak mematikan menghasilkan perubahan pola perilaku satwa liar yang mirip dengan aktivitas manusia yang tidak mematikan (Gambar. 2), menunjukkan bahwa hewan menganggap dan merespons manusia sebagai ancaman bahkan ketika manusia tidak bermaksud menimbulkan risiko secara langsung.

Respon temporal dari hewan bervariasi antar spesies, mengingat adanya perbedaan interspesifik biologis seperti variasi morfologi dan perilaku. Mamalia dari berbagai ukuran tubuh menunjukkan respon yang kuat terhadap aktivitas manusia, dan ada kecenderungan respon yang lebih besar pada spesies berbadan lebih besar, karena mereka lebih cenderung menjadi objek perburuan, atau diganggu dan dibunuh karena kebutuhan ruang membuat lebih banyak kontak dengan manusia.

Di tingkat trofik, spesies juga menunjukkan respons yang serupa terhadap aktivitas manusia. Bahkan karnivora puncak, yang dari perspektif evolusi biasanya menghadapi sedikit atau tidak memiliki risiko pemangsaan dari spesies lain, juga merespon manusia dengan menjadi lebih aktif di malam hari. Spesies yang biasanya diurnal menunjukkan peningkatan nokturnalitas, dan bahkan spesies krepuskular dan nokturnal aktivitas nokturnal mereka menjadi lebih kuat. Mereka juga menyimpulkan bahwa meningkatnya nokturnalitas satwa liar tidak hanya terjadi di satu atau dua kawasan saja, melainkan terjadi secara global dan di semua tipe habitat yang terganggu karena adanya aktivitas manusia.

Di Indonesia juga ada salah satu penelitian yang dilakukan oleh Griffiths & Schaik (1993). Dalam penelitian mereka yang dilakukan di Taman Nasional Gunung Leuser, dengan membandingkan komunitas mamalia-besar di dua habitat berbeda yakni di Pos Penelitian Ketambe (banyak aktivitas manusia = gangguan tinggi) dan Bengkung atas (sebagai kontrol = gangguan rendah).  Perubahan perilaku nokturnal juga terjadi untuk menghindari manusia. Babi hutan bisa aktif di siang dan malam, di Ketambe terjadi kecenderungan babi hutan untuk menjadi lebih nokturnal. Beruang madu di Bengkung perilaku mereka diurnal. Sebaliknya di Ketambe beruang madu justru sangat nokturnal.

2.2 Dampak yang ditimbulkan dengan adanya perubahan perilaku ke malam hari

Tidak adanya peningkatan aktivitas malam hari oleh satwa liar di beberapa jurnal yang dimasukkan dalam studi meta-analisis oleh Gaynor et al. (2018) bukan berarti manusia tidak memiliki dampak terhadap satwa liar. Perbedaan usia, jenis kelamin, status reproduksi, dan karakter dapat membentuk pola respons atau perilaku berbeda pada tingkat populasi (Hertel et al. 2017). Contoh misalnya, dalam populasi beruang coklat (Ursus arctos), rekreasi menyebabkan pergeseran temporal pada pejantan dewasa (mulai menggeser aktivitasnya ke malam hari), sehingga menciptakan peluang yang lebih besar bagi beruang betina mencari makan untuk di siang hari, yang biasanya beruang betina kalah bersaing dengan beruang jantan untuk akses ke sumber daya. Beruang jantan yang besar dan berpotensi agresif justru menghindari manusia baik dalam waktu dan ruang (Nevin & Gilbert 2004).

Kendala morfologis dan ekologis pada spesies tertentu juga dapat membatasi pola perilaku, memaksa suatu spesies tetap aktif di siang hari walaupun mereka hidup dekat dengan aktivitas manusia, sehingga menimbulkan stres yang lebih tinggi atau perilaku antipredator (Gill et al. 2001) yang dimana perilaku tersebut berupa perilaku vigilance atau kewaspadaan yang membutuhkan energi cukup tinggi dan dapat mengganggu reproduksi dan kelangsungan hidup satwa, dan mengubah interaksi trofik (Creel & Christianson 2007).

Keputusan untuk pindah dari daerah yang terganggu ditentukan oleh faktor seperti kualitas habitat yang sedang ditempati, jarak ke dan kualitas habitat alternatif yang sesuai, risiko relatif pemangsaan atau kepadatan pesaing/kompetitor dalam habitat alternatif dan investasi yang akan dilakukan individu di habitat alternatif (misalnya, dalam membangun wilayah teritorial, memperoleh status dominasi atau memperoleh informasi). Spesies dengan habitat yang cocok di dekatnya (habitat alternatif) dapat secara mudah menghindari gangguan dengan pindah ke habitat alternatif. Sebaliknya, hewan yang tidak memiliki habitat yang cocok di dekatnya (tidak memiliki habitat alternatif) akan dipaksa untuk tetap tinggal meskipun ada gangguan, terlepas dari apakah ini akan mempengaruhi kelangsungan hidup atau keberhasilan reproduksi. Ini juga akan berarti bahwa perilaku penghindaran dapat bervariasi baik temporal dan spasial, tergantung pada kondisi lingkungan yang bersangkutan (Gill et al. 2001).

Dampak lain pada tingkat fisiologi, hewan biasanya juga meningkatkan detak jantung dan tingkat produksi hormone glukokortikoid (hormon steroid yang biasanya digunakan sebagai indikator stres fisiologis pada satwa liar). Hewan menganggap manusia sebagai bentuk ancaman predator, gangguan, memicu perubahan perilaku bersama dengan aktivasi respon stres fisiologis. Respons adaptif ini memungkinkan individu untuk mengatasi rangsangan yang membuat stres, tetapi paparan gangguan yang berulang atau jangka panjang mungkin memiliki efek tingkat individu dan populasi yang merugikan (Tarjuelo et al. 2015).

Tingkat aktivitas manusia yang lebih tinggi, khususnya yang berkaitan dengan perburuan, terjadi selama akhir pekan dan menyebabkan efek gangguan tidak langsung pada burung bustard kecil. Burung ini menghabiskan lebih banyak waktu dengan perilaku waspada dan aktivitas terbang selama akhir pekan, dan lebih banyak waktu mencari makan di pagi hari di akhir pekan, untuk mengimbangi peningkatan pengeluaran energi selama akhir pekan. Adanya peningkatan tingkat stres fisiologis selama akhir pekan ditunjukkan oleh konsentrasi metabolit glukokortikoid tinja yang lebih tinggi. Peningkatan kadar metabolit kortikosteron dikaitkan dengan tingkat gangguan perburuan yang tinggi. Bustard kecil menunjukkan respons perilaku dan fisiologis (hormon stres) yang nyata terhadap aktivitas manusia yang memuncak pada akhir pekan, khususnya perburuan. Efek jangka panjang dari gangguan yang dilakukan selama akhir pekan dari musim gugur sepanjang musim dingin dapat berdampak buruk pada populasi musim dingin dari spesies yang tidak terancam punah ini, yang berpotensi menangkal upaya konservasi yang dilakukan pada populasi lokal dan asing (Tarjuelo et al. 2015).

Selain mengubah pola aktivitas, satwa liar juga mengubah pola perilaku temporal tertentu. Pada siang hari, hewan cenderung memilih habitat yang lebih dekat dengan gangguan manusia (Dupke et al 2016). Pemilihan habitat dikaitkan sebagai respons terhadap gangguan manusia pada siang hari (Bonnot et al. 2013). Untuk mengurangi risiko predasi pada malam hari, rusa roe harus mencari area yang lebih terbuka agar dapat melihat predator yang lebih baik atau harus memilih habitat yang dekat dengan pemukiman manusia karena lynx menghindari keberadaan manusia. Perilaku pemilihan habitat yang dekat dengan pemukiman manusia cenderung dilakukan oleh rusa betina karena herbivora besar yang memiliki keturunan/anakan sangat rentan terhadap pemangsaan. Perilaku bersembunyi biasanya dilakukan di tempat yang sering dikunjungi oleh manusia, dan rusa mencari perlindungan di habitat tertutup pada siang hari (Dupke et al 2016).

Perilaku lain yaitu satwa liar sangat menghindari infrastruktur manusia seperti jalan dan bangunan (Morrison et al. 2015, Stabach et al. 2016). Selama pembatasan aktivitas, Cougar menghindari daerah-daerah yang berdekatan dengan jalan baik yang beraspal dan tidak beraspal. Adanya pergeseran temporal cougar dalam penggunaan ruang di sekitar jalan sebagai respons terhadap tingkat aktivitas manusia yang berfluktuasi. Cougar bergerak lebih tinggi di malam hari karena lebih memungkinkan untuk beraktivitas ketika tingkat lalu lintas berkurang (Morrison et al. 2015).

Di wilayah perbatasan Kenya dan Tanzania, wildebeest secara konsisten menghindari fitur antropogenik dan tutupan kayu yang lebat, menunjukkan penghindaran fitur lanskap yang kemungkinan dikaitkan dengan peningkatan risiko pemangsaan. Wildebeest juga menghindari jalan-jalan utama, terutama Dataran Athi-Kaputiei di mana kepadatan manusia tinggi dan perubahan bentang alam paling besar. Ada perubahan yang kuat dalam penggunaan ruang antara periode siang dan malam, terutama dalam kaitannya dengan fitur antropogenik dan kemungkinan terkait dengan pola aktivitas sirkadian manusia (Stabach et al. 2016).

Beberapa spesies juga memodifikasi kecepatan gerakan siang hari dan malam hari. Pada singa afrika (Panthera leo) pada skala penggunaan lahan, singa menunjukkan penghindaran spasial yang signifikan (tetapi tidak total) dari lahan pastoral (peternakan), meskipun kepadatan mangsa dan struktur habitat sama pada kedua jenis penggunaan lahan. Ini  menunjukkan bahwa kemampuan singa dalam penggunaan lahan pastoral dibatasi oleh manusia yang berada di pastoral. Singa juga lebih cenderung memanfaatkan tanah pastoral pada waktu gelap, ketika orang terbatas pada boma (kandang ternak), dibandingkan pada siang hari. Pada perilaku lokomosi, singa cenderung bergerak lebih cepat dan lebih lurus ketika berada di lahan pastoral dan ketika berada di dekat dengan boma, menunjukkan bahwa mereka menyesuaikan 'bagaimana' cara mereka bergerak dalam menanggapi aktivitas manusia. Mereka juga cenderung berada lebih dekat ke boma pada waktu curah hujan meningkat dan saat cahaya bulan berkurang. Secara keseluruhan, gerakan singa menunjukkan kemampuan untuk membagi aktivitas mereka secara spasial dengan manusia, sehingga risiko kematian akibat manusia diminimalkan sementara penggunaan lanskap di daerah yang didominasi manusia dimaksimalkan (Oriol-Cotterill et al. 2015).

Sebagai tambahan dari pengalihan aktivitas dari siang ke malam, hewan sering mengurangi aktivitas keseluruhan selama 24 jam sebagai respons terhadap gangguan manusia, menghabiskan lebih banyak waktu istirahat dan mengurangi waktu mencari makan atau penurunan perilaku lain yang dapat meningkatkan kebugaran. Di Jepang rusa sika dan babi hutan menjadi lebih nokturnal. Aktivitas perburuan memiliki dampak negatif terhadap pola perilaku rusa sika. Pada musim perburuan, aktivitas rusa sika siang dan malamnya menurun secara signifikan. Proporsi aktivitas malam hari rusa sika meningkat. Di siang hari, mereka biasanya cenderung pindah dan berada di kawasan tertutup untuk beristirahat. Baru-baru ini dengan adanya pengenalan perburuan malam di Jepang di bawah undang-undang yang direvisi dapat membantu mengendalikan populasi satwa liar. Namun, pemantauan berkelanjutan diperlukan untuk mengkonfirmasi harapan ini (van Doormaal et al. 2015).

Selain itu, cahaya lampu di malam hari atau peningkatan visibilitas di sekitar infrastruktur manusia yang permanen juga dapat meningkatkan aktivitas nokturnal di daerah tersebut (Dominoni et al. 2013). Sebaliknya, untuk hewan yang waspada dan takut dengan manusia atau pemangsa yang hidup di daerah dengan pencahayaan lampu, cahaya antropogenik justru dianggap sebagai sumber risiko sehingga dapat membatasi untuk beraktivitas di malam hari di daerah tersebut (Longcore & Rich 2004).

Peningkatan nokturnalitas satwa liar skala global di wilayah yang didominasi manusia menunjukkan tingkat keplastisan perilaku hewan yang tinggi, dengan implikasi besar bagi ekologi dan konservasi. Di sisi positif, partisi secara temporal dapat memfasilitasi koeksistensi manusia dengan satwa liar pada skala spasial yang baik dan secara efektif meningkatkan ketersediaan habitat bagi spesies yang dapat menyesuaikan (Carter et al. 2013). Partisi temporal manusia dan satwa liar juga dapat meminimalisir tingkat kontak antara manusia dengan hewan yang berbahaya sehingga mengurangi beberapa bentuk pertemuan negatif, seperti penularan penyakit dan serangan terhadap manusia. Dalam situasi di mana manusia menimbulkan ancaman mematikan bagi satwa liar (seperti perburuan), peningkatan nokturnalitas mungkin dapat menguntungkan satwa liar dan dapat dikaitkan dengan peningkatan dalam kemampuan bertahan hidup (Murray & Clair 2015).

Koeksistensi manusia dengan satwa liar mungkin merupakan hasil positif dari peningkatan aktivitas satwa liar di malam hari. Disi lain, perubahan ini juga memiliki konsekuensi ekologis yang negatif dan di luar jangkauan. Peningkatan nokturnalitas pada akhirnya dapat mengubah evolusi melalui seleksi morfologis, fisiologis, dan adaptasi perilaku untuk aktivitas malam hari. Manusia merupakan aktor utama dalam perubahan evolusioner alam melalui panen selektif (Darimont et al. 2009). Namun, pengaruh efek aktivitas manusia yang tidak mematikan (misal camping, mendaki, ekstraksi sumber daya) mungkin memiliki pengaruh yang lebih kuat pada kebugaran dan lintasan evolusioner.

Efek risiko yang disebabkan oleh respons temporal terhadap gangguan manusia diperkirakan sangat kuat, karena peningkatan aktivitas nokturnal dapat menyebabkan ketidakcocokan antara fitur morfologi dengan lingkungan (bagi spesies diurnal). Perilaku pada waktu yang berbeda mempengaruhi dan dipengaruhi oleh morfologi (misal ukuran kornea mata, fisiologi (misal protein opsin), dan ekologi (misal kehidupan kelompok dan risiko pemangsaan) (Gaynor et al. 2018). Sebagian besar mamalia memiliki beberapa adaptasi sensorik untuk dapat melakukan aktivitas malam hari karena merupakan sifat yang diturunkan dari nenek moyang mamalia yang merupakan hewan nokturnal. Namun, justru banyak spesies telah mengembangkan sifat untuk mengoptimalkan perilaku diurnal mereka (Maor et al. 2017, Hall et al. 2009). Ketika aktif di waktu lain (malam hari misalnya), hewan yang diurnal dapat mengalami kendala seperti: perburuan atau mencari makan yang semakin sulit, strategi antipredator yang semakin melemah, gangguan perilaku sosial, kapasitas navigasi yang buruk, dan kerugian metabolisme yang lebih tinggi, yang semua kendala yang telah disebutkan sebelumnya dapat berpengaruh pada tingkat reproduksi dan kelangsungan hidup (Sih 2013, Tuomainen et al. 2011).

Dengan mengubah pola perilaku pada beberapa spesies satwa liar, gangguan manusia mulai menimbulkan trophic cascade yang dimediasi secara perilaku dan mengubah seluruh komunitas ekologis (Werner & Peacor 2003). Respons perilaku ketakutan oleh predator puncak terhadap manusia dapat mengurangi kemampuan mereka untuk berburu sehingga dalam melakukan peran ekologis mereka di bagian atas jaring trofik menjadi terganggu (Ordiz et al. 2013). Hewan yang semakin aktif di malam hari dapat mengubah diet mereka secara drastis dengan mengubah target mangsa atau hijauan (tanaman) yang lebih mudah diakses di malam hari, membentuk kembali level trofik yang lebih rendah (Ordiz et al. 2017).

Peningkatan nokturnalitas yang disebabkan oleh manusia pada spesies mangsa juga dapat meningkatkan kerentanan mereka terhadap predator nokturnal. Rusa ekor putih merespons gangguan pemburu (manusia) dengan menjauh dari jalan dan meningkatkan aktivitasnya di malam hari. Meskipun perburuan rusa dapat mengurangi basis mangsa untuk panther, perubahan dalam perilaku rusa selama musim perburuan justru dapat menguntungkan panther dengan cara-cara berikut: (1) peningkatan aktivitas nokturnal dan perpindahan dari jalan oleh rusa justru menuju ke daerah yang sering dikunjungi oleh panther sehingga dapat meningkatkan kerentanan dimangsa oleh panther; (2) pergerakan rusa menjauh dari jalan mungkin pada gilirannya juga akan mempengaruhi panther untuk ikut menjauh dari jalan, yang pada akhirnya dapat mengurangi kemungkinan panther terbunuh oleh kendaraan yang berlalu lintas atau oleh pemburu liar (Kilgo et al. 1998).

Beberapa spesies mangsa mungkin justru mencari daerah yang didominasi manusia di malam hari untuk melarikan diri dari pemangsa nokturnal yang secara spasial menghindari manusia. 'Hipotesis perisai manusia' menggambarkan situasi di mana spesies mangsa menggunakan manusia sebagai perisai agar bisa terhindar dari pemangsaan. Populasi nyala gunung (Tragelaphus buxtoni) menggunakan perisai manusia untuk menghindari pemangsaan dari hyena tutul nokturnal (Crocuta Crocuta) di Taman Nasional Pegunungan Bale, Ethiopia. Semakin dekat dengan pemukiman manusia, hyena semakin menurun jumlahnya. Hampir semua individu sesekali pindah dari Taman Nasional ke pemukiman manusia di malam hari, frekuensi kunjungan bervariasi dari 0% hingga 71%. Kunjungan berlangsung sepanjang tahun dan tidak dipengaruhi oleh akses musiman ke tanaman (pakan). Penggunaan perisai manusia di sini adalah indikasi efek positif skala kecil dari keberadaan manusia (Atickem et al. 2014).

2.3 Bagaimana upaya manusia dalam menanggapi fenomena ini

Perubahan yang disebabkan oleh manusia dalam aktivitas diet adalah bidang penelitian yang sedang berkembang. Namun, sangat sedikit penelitian yang meneliti konsekuensi tingkat individu, populasi, atau komunitas dari perubahan perilaku ini. Mengingat sifat luas dari peningkatan aktivitas malam hari, ada banyak peluang dan kebutuhan untuk mempelajari tidak hanya besarnya efek ini tetapi juga konsekuensinya terhadap kebugaran individu, interaksi spesies, dan seleksi alam. Penelitian tambahan lebih lanjut dan analisis sintetik juga diperlukan untuk taksa non-mamalia, yang mungkin juga menunjukkan perubahan pola makan sebagai respons terhadap manusia (Burger & Gochfeld 1991).

Ketika penelitian tentang perilaku nokturnalitas dan konsekuensi dari peningkatan nokturnalitas meningkat, diharapkan kedepannya untuk juga memasukkan pengetahuan tentang dinamika temporal ke dalam perencanaan konservasi. Saat ini, ekologi spasial merupakan alat perencanaan lahan yang umum digunakan (Pressey et al. 2007), tetapi pendekatan baru yang secara eksplisit membahas interaksi temporal dalam perencanaan konservasi sangat diperlukan. Zonasi temporal dapat disetarakan dengan sistem zonasi spasial. Yang dimana sistem zonasi spasial membatasi aktivitas manusia pada kawasan tertentu seperti yang sudah diberlakukan pada Taman Nasional, yaitu zona inti, zona penyangga, dan zona pemanfaatan. Sedangkan zonasi temporal sama-sama akan membatasi aktivitas manusia namun berdasarkan waktu. Adapun waktu yang perlu dibatasi yaitu waktu ketika dari suatu spesies (satwa yang paling diperhatikan status konservasinya) memiliki aktivitas paling aktif, atau waktu ketika kemungkinan pertemuan manusia-satwa liar yang paling tinggi. Pendekatan sistematis untuk memahami dan mengelola interaksi temporal antara manusia dan satwa liar dapat membuka domain atau cara baru untuk konservasi di dunia yang semakin ramai (Gaynor et al. 2018). Salah satu strategi yang dapat dilakukan yaitu misalnya dengan membatasi aktivitas manusia pada waktu-waktu tertentu dalam setahun, seperti membatasi akses rekreasi selama musim kawin (Larson et al. 2016).

Daftar Pustaka


Atickem, A., L.E. Loe & N.C. Stenseth. 2014. Individual heterogeneity in use of human shields by mountain nyala. Ethology 120(7): 715–725.

Barnosky, A.D., N. Matzke, S. Tomiya, G.O.U. Wogan, B. Swartz, T.B. Quental, C. Marshall, J.L. McGuire, E.L. Lindsey, K.C. Maguire, B. Mersey & E.A. Ferrer. 2011. Has the Earth’s sixth mass extinction already arrived?. Nature 471(7336): 51–57.

Benítez-López, A. 2018. Animals feel safer from humans in the dark. Science 360(6394): 1185–1186.

Bonnot, N., N. Morellet, H. Verheyden, B. Cargnelutti, B. Lourtet, F. Klein & A.J.M. Hewison. 2013. Habitat use under predation risk: Hunting, roads and human dwellings influence the spatial behaviour of roe deer. European Journal of Wildlife Research 59(2): 185–193.

Burger, J. & M. Gochfeld. 1991. Human Activity Influence and Diurnal and Nocturnal Foraging of Sanderlings (Calidris alba). The Condor 93(2): 259–265.

Carter, N., M. Jasny, B. Gurung & J. Liu. 2015. Impacts of people and tigers on leopard spatiotemporal activity patterns in a global biodiversity hotspot. Global Ecology and Conservation 3: 149–162.

Clinchy, M., L.Y. Zanette, D. Roberts, J.P. Suraci, C.D. Buesching, C. Newman & D.W. Macdonald. 2016. Fear of the human “super predator” far exceeds the fear of large carnivores in a model mesocarnivore. Behavioral Ecology 27: arw117.

Creel, S. & D. Christianson. 2008. Relationships between direct predation and risk effects. Trends in Ecology and Evolution 23: 194–201.

Darimont, C.T., S.M. Carlson, M.T. Kinnison, P.C. Paquet, T.E. Reimchen & C.C. Wilmers. 2009. Human predators outpace other agents of trait change in the wild. Proceedings of the National Academy of Sciences 106(3): 952–954.

Dominoni, D.M., J.C. Borniger & R.J. Nelson. 2016. Light at night, clocks and health: From humans to wild organisms. Biology Letters 12(2): 2016–2019.

Dupke, C., C. Bonenfant, B. Reineking, R. Hable, T. Zeppenfeld, M. Ewald & M. Heurich. 2016. Habitat selection by a large herbivore at multiple spatial and temporal scales is primarily governed by food resources. Ecography 40: 1014–1027.

Gaynor, K.M., C.E. Hojnowski, N.H. Carter & J.S. Brashares. 2018. The influence of human disturbance on wildlife nocturnality. Science 360(6394): 1232–1235.

Gill, J.A., K. Norris & W.J. Sutherland. 2001. Why behavioural responses may not reflect the population consequences of human disturbance. Biological Conservation 97: 265–268.

Griffiths, M. & C.P. Schaik. 1993. The Impact of Human Traffic on the Abundance and Activity Periods of Sumatran Rain Forest Wildlife. Conservation Biology 7(3): 623–626.

Hall, M.I., J.M. Kamilar & E. Christopher Kirk. 2012. Eye shape and the nocturnal bottleneck of mammals. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences 279(1749): 4962–4968.

Hertel, A.G., J.E. Swenson & R. Bischof. 2017. A case for considering individual variation in diel activity patterns. Behavioral Ecology 28(6): 1524–1531.

Kilgo, J.C., R.F. Labisky & D.E. Fritzen. 2009. Influences of the Florida Hunting Panther on the Behavior of Conservation White-Tailed Deer : Implications for. Conservation Biology 12(6): 1359–1364.

Kronfeld-Schor, N. & T. Dayan. 2003. Partitioning of time as an ecological resource. Annual Review of Ecology, Evolution, and Systematics 34: 153–81.

Larson, C.L., S.E. Reed, A.M. Merenlender & K.R. Crooks. 2016. Effects of recreation on animals revealed as widespread through a global systematic review. PLoS ONE 11(12): 1–21.

Longcore, T. & C. Rich. 2004. Ecological light pollution. Frontiers in Ecology and the Environment 2(4): 191–198.

Maor, R., T. Dayan, H. Ferguson-Gow & K.E. Jones. 2017. Evolution of activity patterns in mammals Temporal niche expansion in mammals from a nocturnal ancestor after. 1–29.

Morrison, C.D., M.S. Boyce & S.E. Nielsen. 2015. Space-use, movement and dispersal of sub-adult cougars in a geographically isolated population. PeerJ 3:e1118.

Murray, M.H. & C.C. St. Clair. 2015. Individual flexibility in nocturnal activity reduces risk of road mortality for an urban carnivore. Behavioral Ecology 26(6): 1520–1527.

Naylor, L.M., M.J. Wisdom & R.G. Anthony. 2009. Behavioral responses of North American Elk to recreational activity. The Journal of Wildlife Management 73(3): 328–338.

Nevin, O.T. & B.K. Gilbert. 2005. Measuring the cost of risk avoidance in brown bears: further evidence of positive impacts of ecotourism. Biological Conservation 123(4): 453–460.

Ordiz, A., R. Bischof & J.E. Swenson. 2013. Saving large carnivores, but losing the apex predator? Biological Conservation 168: 128–133.

Ordiz, A., S. Sæbø, J. Kindberg, J.E. Swenson & O.G. Støen. 2017. Seasonality and human disturbance alter brown bear activity patterns: implications for circumpolar carnivore conservation? Animal Conservation 20(1): 51–60.

Oriol-Cotterill, A., D.W. Macdonald, M. Valeix, S. Ekwanga & L.G. Frank. 2015. Spatiotemporal patterns of lion space use in a human-dominated landscape. Animal Behaviour 101: 27–39.

Pressey, R.L., M. Cabeza, M.E. Watts, R.M. Cowling & K.A. Wilson. 2007. Conservation planning in a changing world. Trends in Ecology and Evolution 22(11): 583–592.

Setiawan, A. & H.S. Alikodra. 2001. Tinjauan terhadap pembangunan sistem kawasan konservasi di Indonesia. Media Konservasi 7(2): 39–46.

Sih, A. 2013. Understanding variation in behavioural responses to human-induced rapid environmental change: A conceptual overview. Animal Behaviour 85(5): 1077–1088.

Stabach, J.A., G. Wittemyer, R.B. Boone, R.S. Reid & J.S. Worden. 2016. Variation in habitat selection by white-bearded wildebeest across different degrees of human disturbance. Ecosphere 7(8): e01428.

Supriatna, J. 2018. Konservasi biodiversitas: teori dan praktik di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta. 541 + xv hal.

Tarjuelo, R., I. Barja, M.B. Morales, J. Traba, A. Benítez-López, F. Casas, B. Arroyo, M.P. Delgado & F. Mougeot. 2015. Effects of human activity on physiological and behavioral responses of an endangered steppe bird. Behavioral Ecology 26(3): 828–838.

Tuomainen, U. & U. Candolin. 2011. Behavioural responses to human-induced environmental change. Biological Reviews 86(3): 640–657.

van Doormaal, N., H. Ohashi, S. Koike & K. Kaji. 2015. Influence of human activities on the activity patterns of Japanese sika deer (Cervus nippon) and wild boar (Sus scrofa) in Central Japan. European Journal of Wildlife Research 61(4): 517–527.

Venter, O., E.W. Sanderson, A. Magrach, J.R. Allan, J. Beher, K.R. Jones, H.P. Possingham, W.F. Laurance, P. Wood, B.M. Fekete, M.A. Levy & J.E.M. Watson. 2016. Sixteen years of change in the global terrestrial human footprint and implications for biodiversity conservation. Nature Communications 7: 1–11.

Werner, E.E. & S.D. Peacor. 2003. A Review of Trait-Mediated Indirect Interactions in Ecological Communities Introduction and the Conceptual Problem. Ecology 84(5): 1083–1100.

Woodroffe, R., S. Thirgood & A. Rabinowitz. 2005. People and wildlife, conflict or co-existence?. Cambridge University Press: United Kingdom.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments